Pengertian Pajak Usaha Perorangan dan Jumlahnya

Icon dollar dan karakter laki-laki duduk di atasnya

Tahukah Anda kalau sejak tahun 2021, Anda bisa mendirikan PT (perseroan terbatas) meskipun modal yang Anda miliki cukup terbatas dan hanya Anda seorang pemiliknya? Yup! Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia mengesahkan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah. 

Berbeda dengan Perseroan Terbatas biasa, perusahaan perseorangan bisa didirikan oleh satu orang saja dan tidak perlu memiliki akta notaris. Untuk mendapatkan status badan hukum ini, UMKM tinggal mendaftar secara online di laman ahu.go.id

Selain perbedaan dalam masalah administratif tersebut, perbedaan antara PT perseorangan dan PT biasa juga terletak pada modal dan omzetnya. PT perseorangan adalah badan hukum yang dikhususkan untuk UMKM, sehingga modal maksimal PT perseorangan adalah sebesar Rp5.000.000.000  (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan, serta omset maksimal Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah) per tahun. 

Dengan mendapatkan sertifikasi sebagai PT Perorangan, pemilik UMKM bisa mengembangkan usahanya lebih luas lagi karena berpeluang lebih diakui oleh calon mitra dari perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Namun demikian, dengan mendaftar sebagai PT Perseorangan, UMKM juga dikenai kewajiban sebagaimana badan hukum lainnya. Salah satu kewajiban tersebut adalah membayar pajak. 

Pengertian Pajak Usaha Perorangan 

Pajak perseorangan adalah adalah pajak yang harus dibayarkan oleh pemilik PT perseorangan kepada pemerintah. Sebagai badan hukum, tentunya pemilik PT perseorangan wajib membayar pajak. 

komputer dan tangan menulis

Namun karena PT perseorangan ini berbeda dengan PT biasa, maka pemerintah memberikan ketentuan khusus mengenai berbagai pajak yang harus dibayarkan oleh pemilik badan usaha ini. Berikut ini penjabaran mengenai pajak PT perseorangan:

1. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak pt perseorangan yang pertama adalah pajak penghasilan atau PPh. PPh untuk UMKM berbeda dengan PPh untuk individu maupun PT. Berikut ini penjabaran lengkapnya:

PP No.23 tahun 2018

Pemilik badan hukum PT perseorangan bisa memilih salah satu di antara dua skema pajak PPh, yaitu PPh sesuai PP No.23 tahun 2018 atau Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Jika menggunakan PP No.23 tahun 2018, maka besaran pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto (omset)

Namun, tidak semua perusahaan bisa mendapatkan keringanan pajak ini. Pajak PPh sesuai PP No.23 tahun 2018, hanya diperuntukkan untuk Wajib Pajak badan usaha yang memiliki omset atau peredaran bruto kurang dari Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta) per tahun. 

Selain itu, penggunaan keringanan pajak ini juga terbatas hingga 3 tahun setelah pendaftaran. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 PP Nomor 23 tahun 2018. Setelah masa 3 tahun tersebut berakhir, maka pengusaha wajib menggunakan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 

Pasal 17 UU PPh

Adapun pajak PPh menurut Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 7 Tahun 2021 menyebutkan bahwa besaran PPh yang wajib dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam negeri adalah sebesar 22% dari penghasilan kena pajak

Meskipun tampak besar, namun Anda harus ingat bahwasanya dasar penghitungan keringanan pajak sebesar 0,5% di atas adalah peredaran bruto atau omset atau pendapatan, sementara pajak PPh sesuai Pasal 17 ini dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak atau keuntungan setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga nominalnya bisa jadi tidak terlalu besar.

Selain itu, menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 31E, apabila setelah 3 tahun omset UMKM tersebut masih belum mencapai Rp4,800,000,000 per tahun, maka perusahaan bisa mendapatkan pengurangan sebesar 50% dari tarif. 

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPn)

Tidak hanya akan dikenai PPh menurut Pasal 17, perusahaan perseorangan yang memiliki omset di atas Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun juga harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ini artinya, selain harus membayar pajak penghasilan, perusahaan tersebut juga harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10%. 

Umumnya,PPn untuk pajak perseorangan adalah sebesar 10% ini akan dibebankan kepada pelanggan, sementara perusahaan hanya perlu menyerahkan faktur pajak saja. Akan tetapi, jika perusahaan tersebut terlambat dalam mengajukan diri untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka perusahaan harus menanggung langsung besaran PPn tersebut selama periode keterlambatan. 

Misalnya, Anda mendaftar sebagai PT Perseorangan pada tanggal 1 Januari 2023 namun omset Anda masih di bawah 4 miliar rupiah dan tahun akuntansi Anda selesai pada tanggal 31 Desember. Anda lantas lupa melaporkan pajak pada tanggal 1 Januari, sehingga baru lapor pada tanggal 1 Februari. Padahal pada Januari 2024, perusahaan Anda sudah mendapatkan omset sebesar 5 miliar. Maka, Anda harus membayar PPn secara penuh untuk bulan Januari tersebut. 

Perhitungan Pajak Usaha Perorangan

1. PP No.23 tahun 2018

Untuk menghitung PPh terutang menggunakan pasal ini, caranya mudah. Anda tinggal mengalikan angka 0,5% dengan pendapatan tahunan perusahaan Anda. Misalnya, omset perusahaan Anda pada tahun adalah Rp3.000.000.000 (tiga milyar rupiah), maka pajak penghasilan yang harus Anda bayarkan adalah sebesar:

PPh final = 0,5% x 3.000.000.000 = Rp15.000.000. 

2. Pasal 17 UU PPh

Untuk menghitung PPh terutang menggunakan pasal ini, Anda harus mengetahui terlebih dahulu jumlah penghasilan kena pajak (PKP). Penghasilan kena pajak ini adalah pendapatan perusahaan dikurangi beban-beban usaha yang menurut Undang-Undang dapat mengurangi nominal pajak (deductible expense). 

Jika omset perusahaan Anda berkisar antara 4,8 miliar sampai 50 miliar rupiah, maka Anda berhak mendapatkan potongan 50% sebagaimana yang telah dijabarkan di atas. Namun, jika omset perusahaan Anda lebih dari 50 miliar, maka Anda tidak berhak mendapatkan potongan tersebut. Rumus untuk menghitung PPh terutang menurut pasal ini adalah:

  • Omset kurang atau sama dengan Rp4,8 miliar=  50% x 22% x penghasilan kena pajak.
  • Omset lebih dari Rp4,8 miliar sampai Rp50 miliar = [(50% x 22%) x PKP yang kena pengurangan] + [22% x PKP yang tidak terkena pengurangan].
  • Omset di atas Rp50 miliar = 22% x PKP. 

PT. Saya Suka Sehat adalah perseroan perorangan yang memiliki 3 tahap bisnis. Pada tahun 2021, perusahaan ini baru mendaftar menjadi PT Perorangan, memiliki omset sebesar Rp4.000.000.000 (empat milyar rupiah). Pada tahun 2024, omset perusahaan ini naik menjadi Rp8.000.000.000 dengan penghasilan kena pajak Rp900.000.000. Setelah mengalami pertumbuhan pesat, pada tahun 2031 omset perusahaan ini naik menjadi Rp50.000.000.000 dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp7.500.000.000. Maka, PPh terutang PT. Saya Suka Sehat adalah:

2021:

PPh terutang = 0,5% x 4.000.000.000 = Rp20.000.000

2024:

Total PPh terutang = [(50% x 22%) x PKP yang kena pengurangan] + [22% x PKP yang tidak terkena pengurangan]

Supaya bisa lebih mudah memahaminya, Anda bisa melihat penghitungan dalam tabel berikut:

Omset (A) 8.000.000.000
Omset yang mendapat fasilitas (B) 4.800.000.000
Penghasilan Kena Pajak (C) 900.000.000
Penghasilan yang mendapat fasilitas (D). D = (B/A)* D 540.000.000
Penghasilan yang tidak mendapat fasilitas (E). E= C-D 360.000.000
PPh dengan fasilitas (F). F = 50%x22%xD 59.400.000
PPh tanpa fasilitas (G). G = 22%xE 79.200.000
Total PPh terutang = F+G 138.600.000

2031:

PPh terutang = 22% * 7.500.000.000 = Rp1.650.000.000

Cara Lapor Pajak Usaha Perorangan 

Cara melaporkan pajak usaha perorangan kini mudah. Anda bisa melaporkan SPT tahunan dan pembayarannya dengan mengisi e-form di DJP Online. Sebelum membuat laporan ini, sebaiknya Anda juga menyiapkan dokumen pendukung lainnya, seperti laporan keuangan perusahaan, laporan laba rugi, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Sebab, dokumen-dokumen ini nantinya akan diunggah dalam e-form tersebut.

Sebaiknya, Anda segera membuat SPT dan membayar pajak maksimal akhir bulan ke-4 setelah tahun buku berakhir. Jadi misalnya, tahun pembukuan Anda berakhir pada Desember, maka pelaporan paling lambat adalah pada akhir Bulan April. Sebab, akan ada hukuman berupa surat peringatan hingga denda apabila Anda telat melaporkan SPT atau membayar pajak. 

Supaya proses pelaporan pajak Anda bisa lebih praktis, Anda bisa menggunakan e-sign dari Privy. Sebab, e-sign dari Privy merupakan mitra resmi dari Direktorat Jenderal Pajak dan sudah terjamin keamanan dan kredibilitasnya.  

Peraturan mengenai persentase pajak yang harus dibayarkan oleh badan usaha acap kali berubah sesuai dengan kondisi perekonomian negara. Oleh sebab itu, Anda dianjurkan untuk tetap mengikuti pemberitaan mengenai tarif pajak terbaru.

Tinggalkan Balasan