Pajak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara Indonesia baik secara individu maupun badan usaha. Keberadaan pajak jelas sangat penting karena dapat membantu dalam sistem pendapatan negara yang nantinya akan digunakan untuk membuat kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi lebih baik melalui fasilitas umum yang diperbarui dan terus ditambahkan. Pasalnya pajak hingga kini masih menjadi sumber utama pendapatan negara. Dilansir dari Antara, 97,7% pendapatan pemerintah Indonesia pada tahun 2022 berasal dari pajak dengan total senilai 2.034 triliun rupiah.
Apabila dibandingkan dengan targetnya, angka 2.034 triliun ini memang melampaui target dengan rasio 114%. Lebih lanjut, hal ini diperkirakan karena perbaikan konsumsi masyarakat, tingginya harga komoditas, reformasi perpajakan, peningkatan pajak PPN, usaha Kemenkeu untuk mencapai target dan lain sebagainya.
Namun tidak dapat dipungkiri kalau dibalik performa apik ini, masih ada wajib pajak di Indonesia yang melakukan penghindaran pajak (tax avoidance). Apa itu tax avoidance dan apa penyebabnya? Simak selengkapnya berikut ini:
Apa itu Tax Avoidance?
Tax avoidance adalah metode pelanggaran aturan perpajakan yang memanfaatkan kekurangan (loopholes) dalam hukum tersebut demi mendapatkan pengurangan nominal pajak yang harus dibayarkan. Pemanfaatan kekurangan hukum ini akan membuat proses pelanggaran aturan pajak ini tampak legal.
Beberapa metode yang acap kali digunakan untuk melakukan proses ini, seperti:
- Memanfaatkan keringanan hukum untuk mendapatkan potongan pajak.
- Mengalokasikan sebagian pendapatan perusahaan atau individu untuk dimasukkan ke rekening-rekening yang bebas pajak, seperti dana pensiun dan lain sebagainya.
- Menyimpan sebagian pendapatan perusahaan di negara-negara yang menawarkan “tax havens”.
- Mendirikan anak perusahaan di negara lain yang menawarkan tax havens atau mendirikan anak perusahaan tersebut sebagai perusahaan offshore (biasanya di atas perairan dan tidak jarang berbatasan dengan negara lain).
Praktik ini bertujuan untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan atau individu. Meskipun tampak legal, namun pada dasarnya sikap tax avoidance ini dapat merugikan setiap pelaku ekonomi. Negara akan kehilangan sumber pendapatannya, dan perusahaan atau individu pelaku penghindaran ini tentunya akan mendapatkan hukuman yang pantas apabila ketahuan dan penegak hukum bisa mengidentifikasi kesalahan dalam proses penghindaran pajak ini.
Contoh Tax Avoidance
Contoh sederhana bagaimana praktik pelanggaran pajak diterapkan dapat Anda saksikan di salah satu scene film The Shawshank Redemption. Dalam film garapan Frank Darabont tersebut, Andy Dufresne (tokoh utama) menyarankan Byron Hadley untuk menyimpan uang $35.000 sebagai “kado” untuk istrinya demi menghindari pajak yang ditetapkan oleh The Internal Revenue Service (IRS).
Dalam latar waktu film ini (tahun 1940an), nilai $35.000 adalah nilai yang besar, sehingga akan dikenai pajak yang besar juga. Nilai ini tidak bisa bebas dari pajak apabila langsung diberikan kepada sipir dan polisi, seperti Hadley. Namun, peraturan IRS memperbolehkan pemberian kado hingga senilai $60.000 dolar bebas pajak kepada istri PNS sekali seumur hidup. Memanfaatkan loopholes ini, Dufresne yang mantan bankir, memberikan saran ini dengan upah sebesar 3 botol bir untuk dirinya dan teman-temannya.
Perbedaan Tax Avoidance dan Tax Evasion
Kata avoidance dan evasion sama-sama bermakna “menghindari atau penghindaran”, sehingga tidak heran jika masyarakat banyak yang tidak bisa membedakan antara tax avoidance dan tax evasion. Namun demikian, nuansa dua frasa ini cukup berbeda. Tax avoidance bisa diartikan sebagai penghindaran pajak, sementara tax evasion umumnya diartikan sebagai “penggelapan pajak”.
Ini artinya, tax avoidance masih bisa dianggap legal karena memanfaatkan kekurangan-kekurangan dalam hukum perpajakan, sementara tax evasion sepenuhnya dianggap illegal. Umumnya, tax evasion dilakukan dengan cara tidak melaporkan seluruh aset yang dimiliki oleh seorang atau sebuah wajib pajak demi meringankan beban pajak yang harus mereka bayarkan. Tindakan ini melanggar ketentuan perpajakan dan dapat berujung pada sanksi hukum.
Tax evasion ini dapat dilakukan dengan cara misalnya, tidak melaporkan seluruh pendapatan perusahaan atau pendapatan yang Anda peroleh dari gaji supaya beban pajak yang harus Anda bayarkan berkurang.
Praktik penghindaran pajak sejatinya merupakan tindakan memanfaatkan celah hukum untuk mengurangi beban pajak secara legal, meskipun sering kali dianggap tidak etis dan dapat merugikan pendapatan negara. Contoh, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 wajib pajak badan usaha berhak mendapatkan PPh Final senilai 0,5% asalkan omzetnya tidak lebih dari 4,8 miliar rupiah. Suatu ketika, pendapatan perusahaan Anda di atas 5 miliar rupiah. Perusahaan Anda dikatakan melakukan tax evasion kalau 200 juta dari pendapatan tersebut tidak Anda laporkan sebagai pendapatan, sehingga perusahaan Anda hanya membayar pajak PPh sebesar 0,5% dan bukan dengan tarif normal.
Faktor Penyebab Tax Avoidance
Beberapa penelitian menyebutkan beberapa faktor keuangan sebuah perusahaan yang bisa mempengaruhi perilaku perusahaan tersebut dalam membayar atau menghindari pajak. Beberapa faktor keuangan tersebut, seperti:
1. Keinginan perusahaan untuk mendapatkan citra positif dengan pembayaran CSR
Corporate social responsibility (CSR) adalah kewajiban yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada lingkungan alam dan masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi. Pembayaran CSR ini tentunya mau tidak mau akan mengurangi pendapatan dan laba perusahaan, sehingga ada kemungkinan perusahaan akan mengurangi beban pajak dan mengalihkannya untuk membayar CSR ini.
Namun menurut beberapa penelitian, pembayaran CSR justru berkorelasi negatif dengan sikap tax avoidance. Hal ini karena perusahaan ingin menciptakan citra yang baik di mata seluruh stakeholder dan mempertahankan bisnisnya dalam jangka waktu lama, sehingga mereka membayar CSR tetapi juga membayar pajak secara penuh.
2. Fiscal compensation
Ketika sebuah perusahaan mengalami kerugian pada suatu tahun dan keuntungan perusahaan tersebut di tahun selanjutnya tidak cukup untuk menutupi kerugian tersebut, maka beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan pada tahun selanjutnya itu akan menurun sebagai kompensasi fiskal.
Misalnya pada tahun 2021 PT A rugi hingga 3 miliar rupiah dan pada tahun 2022 perusahaan tersebut untuk untung sebesar 2,5 miliar rupiah. Karena keuntungan tersebut tidak dapat digunakan untuk menutupi kerugian yang didapatkan perusahaan pada tahun 2021, maka perusahaan akan mendapatkan keringanan pajak.
Kebijakan seperti ini bisa bermata dua. Pertama, perusahaan bisa saja membuat keuntungan jauh lebih rendah dibandingkan yang sebenarnya, sehingga tidak menutupi kerugian tahun lalu untuk mendapatkan pengurangan pajak. Kedua, penetapan pajak seperti ini dapat membantu perusahaan untuk tumbuh lebih stabil meskipun masih merugi.
Menurut beberapa penelitian, nominal kompensasi fiskal ini berkorelasi negatif dengan penghindaran pajak. Artinya, semakin besar kompensasi fiskal yang diperoleh perusahaan atas kerugian yang telah lalu, perusahaan juga tidak akan melakukan penghindaran pajak.
Selain faktor keuangan, penghindaran pajak juga bisa disebabkan oleh hal-hal lain, seperti minimnya pengetahuan wajib pajak terhadap nominal pajak yang harus mereka bayarkan, peraturan pembayaran pajak yang sering berubah, hingga susahnya pelaporan pajak wajib pajak individu maupun badan usaha di tengah iklim bisnis yang mendorong work from home (WFH) dan work from anywhere (WFA).
Untuk penyebab yang terakhir ini, kini sudah ada solusinya. Privy dengan bekerjasama dengan DITJEN Pajak memungkinkan pelaporan SPT badan usaha secara online. Dengan tanda tangan digital Privy, Anda bisa melaporkan SPT Tahunan perusahaan Anda secara online dari manapun dan kapanpun, sehingga cocok untuk perusahaan yang menerapkan sistem work from home (WFH) dan work from anywhere (WFA).