World Bank Global Findex 2017 mencatat bahwa 51% dari populasi penduduk dewasa Indonesia tidak memiliki rekening bank, atau disebut juga sebagai unbanked. Masyarakat unbanked tidak memiliki akses untuk menjangkau produk perbankan karena tidak mampu memenuhi prasyarat kelayakan. Jumlah masyarakat unbanked yang mencapai 95 juta orang menempatkan Indonesia pada peringkat keempat sebagai negara dengan populasi masyarakat unbanked terbesar dunia setelah China, India dan Pakistan. Permasalahan masyarakat unbanked yang merupakan isu lama ini menjadi salah satu concern utama bagi pelaku fintech peer-to-peer (P2P) lending.
Salah satu faktor tingginya jumlah masyarakat unbankable di Indonesia adalah lokasi daerah yang tidak terjangkau oleh bank atau lembaga keuangan. Di antara penduduk dewasa unbanked yang menyatakan bahwa jarak adalah penghalang utama dalam mendapatkan rekening, 69% atau 60 juta orang di antaranya memiliki telepon seluler sendiri. Hal ini dapat menjadi potensi bagi industri fintech P2P lending untuk bisa membantu masyarakat yang masih unbanked.
Untuk itu, perusahaan fintech P2P lending Amartha dan startup penyedia tanda tangan digital PrivyID, bekerjasama untuk mengambil tanggung jawab dalam membantu masyarakat unbanked. Amartha kini menggunakan tanda tangan digital PrivyID untuk menjembatani tantangan lokasi masyarakat unbanked di daerah pelosok. Dengan menggunakan tanda tangan digital, Amartha bisa mengurangi penggunaan kertas, memotong waktu pemrosesan dokumen, dan akhirnya meningkatkan efisiensi tanpa harus mengorbankan proses Know Your Customer (KYC).
“Amartha punya agen lapangan di 108 lokasi di daerah pelosok dengan rata-rata dua puluh ribu kontrak baru per bulan. Menggunakan tanda tangan digital PrivyID akan membantu kami mengurangi paper works, datanya juga masuk secara real-time dan akhirnya menaikkan efisiensi dan transparansi. Sehingga agen lapangan kami bisa fokus untuk mengedukasi warga. Kami juga ingin tanda tangan digital bisa mencegah maladministrasi dan penipuan” kata Aria Widyanto, Vice President Amartha saat ditemui di Jakarta. Menggunakan tanda tangan digital memang selama ini terbukti bisa memangkas waktu pemrosesan dokumen dan jauh mengurangi penggunaan kertas pada perusahaan fintech dan perusahaan multifinance. Namun kali ini, PrivyID dan Amartha punya tantangan baru dalam menjangkau masyarakat unbanked.
“Walau ada tantangan yaitu penetrasi internet yang belum merata di daerah pelosok, tapi PrivyID menyambut semua tantangan demi menjangkau masyarakat unbanked. Kerjasama dengan Amartha ini mudah-mudahan menjadi contoh supaya para startup tidak hanya memikirkan orang-orang di kota besar saja,” ujar Guritno Adi Saputro, Co-founder PrivyID. Sebelumnya, PrivyID juga telah membantu fintech AwanTunai dalam menjangkau masyarakat unbanked. Dari data AwanTunai, setelah menggunakan tanda tangan digital PrivyID, pemrosesan dokumen bertambah cepat dari semula dua hari menjadi dua jam. AwanTunai juga bisa memproses dokumen pengajuan kredit lima kali lebih banyak, dari hanya seratus menjadi lima ratus dokumen setiap hari.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupaya memperbaiki kualitas industri fintech dengan mewajibkan penggunaan tanda tangan digital yang sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan di Indonesia. Tanda tangan digital ini wajib digunakan dalam pengesahan perjanjian antara penyelenggara, pemberi, dan penerima pinjaman. OJK mewajibkan perusahaan fintech menggunakan tanda tangan digital lewat Pasal 41 Peraturan OJK No 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. “Saat ini, OJK mendukung fintech dalam menggunakan tanda tangan digital untuk membangun ekosistem fintech yang sehat makanya kita engage dengan PrivyID,” ucap Aria.