Berbagai startup di Indonesia terus bertumbuh dengan pesat seiring dengan berkembangnya teknologi dan berbagai kebutuhan masyarakat. Dengan memadukan perkembangan teknologi dan finansial, kini pun hadir salah satu kategori startup yang khusus membantu masyarakat mengelola keuanganya itu Financial Technology (fintech) atau lebih dikenal dalam Bahasa Indonesia sebagai Teknologi Finansial (tekfin).
Dikutip dari laman milik Bank Indonesia, fintech didefinisikan sebagai “…penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisinesi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.”

Kini, di Indonesia telah hadir beragam jenis fintech yang menyesuaikan berbagai kebutuhan milik berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Mulai dari microfinancing, P2P Lending, Crowd funding, Digital Payment System, hingga Market Comparison, semuanya memberikan akses keuangan bagi lebih banyak masyarakat di Indonesia.
Pada tahun 2017, Fintech Report oleh Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menunjukkan pertumbuhan fintech di Indonesia mencapai 78% dengan segmen terbesarnya adalah Online Lending (termasuk P2P Lending) sebesar 26,2%. Pertumbuhan ini juga diiringi dengan tingginya jumlah transaksi yang dihasilkan oleh fintech. Hasil riset AFTECH 2017 menunjukkan total nilai transaksi fintech di tahun 2016 mencapai USD 15,022 miliar di mana sebesar 99% dari total tersebut berasal dari kegiatan pembiayaan secara digital.
Baca juga: Transformasi Digital di Industri Finansial
Baca juga: Startup Fintech Indonesia: Pengertian, Jenis, dan Tantangan yang Mereka Hadapi
Daftar Isi
Permasalahan yang Menghadang Perkembangan Lebih Lanjut
Akan tetapi, fenomena positif ini tidak serta-merta membuat para startup fintech ini bebas dari masalah. Salah satu masalah yang kerap ditemui adalah hambatan regulasi dalam proses verifikasi calon pelanggan, atau dikenal sebagai Know Your Customer (KYC).
Proses KYC sendiri telah diwajibkan oleh Bank Indonesia, seperti yang telah dituangkan dalam peraturan BI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Pelanggan (Know Your Customer Principles). Sesuai dengan pasal 1 ayat 2, menurut BI prinsip ini adalah “…prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.”

Lebih lanjut, proses KYC juga telah diatur lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 18 Ayat 5. Di ayat ini disebutkan bahwa Prinsip Mengenal Pengguna Jasa harus memuat identifikasi pengguna jasa, verifikasi pengguna jasa, dan pemantauan pengguna jasa. Kedua hukum yang ada ini telah diterapkan untuk mencegah kemungkinan adanya pencucian uang (Money Laundering) lewat rekening fiktif.
Permasalahan Dari KYC Manual
Untuk menjadi pelanggan dari bank atau layanan fintech sendiri diperlukan proses verifikasi calon nasabah lewat identitas yang lengkap dan valid. Saat ini, proses KYC dilakukan lewat proses tatap muka secara langsung di mana pihak pelanggan harus mengisi formulir identitas, mencocokkan kartu identitas, foto, skanlasi kartu identitas, hingga menyimpan data tersebut dalam format digital. Tahapan yang panjang ini pun menghasilkan berbagai permasalahan kompleks sehingga menghambat kemampuan perusahaan fintech untuk menjangkau lebih banyak calon pelanggan. Permasalahan ini di antara lainnya adalah:
• Kesulitan Menjangkau Penduduk di Berbagai Daerah di Indonesia
Sebagai negara dengan ribuan pulau dengan luas mencapai 5.193.250 km², akan sulit untuk bisa menjangkau seluruh masyarakat yang tersebar di setiap daerah. Selain itu, jumlah penduduk di Indonesia sendiri pada tahun 2015 sudah mencapai angka 255 juta penduduk, di mana sebanyak 49,79% berada di perkotaan dan sisanya sebesar 50,21% ada di pedesaan. Akan memakan waktu sangat lama untuk menghampiri puluhan hingga ratusan juta calon pelanggan dan meminta mereka melengkapi identitas.
• Besarnya Biaya yang Harus Dikeluarkan
Disadari atau tidak, proses KYC dengan bertatap muka mengeluarkan biaya yang besar. Perusahaan harus menyiapkan anggaran khusus untuk melakukan verifikasi identitas pelanggan, mulai dari mencetak formulir hingga mengirimkan dokumen kepada calon pelanggan di kota lain. Apabila hal ini terus dilakukan bagi ribuan sampai jutaan pelanggan, maka anggaran untuk proses KYC konvensional ini pun bisa terus membengkak.

• Memakan Waktu Lama
Selain menghabiskan biaya yang besar, KYC dengan bertatap muka langsung juga memakan waktu lama. Proses KYC manual bisa mamakan waktu berhari-hari yang mencakup pembuatan, pengiriman, dan verifikasi dokumen. Proses ini pun akan memakan waktu lebih lama bila calon pelanggan berada di luar kota yang membutuhkan dokumen untuk dikirim antara perusahaan dan pelanggan. Proses yang lama dan berbelit-belit ini seringkali malah mematikan minat calon pelanggan untuk meneruskan proses pendaftaran.
• Risiko Keamanan
Lalu, permasalahan terbesar dari proses KYC manual adalah risiko pemalsuan identitas calon pelanggan dan pemalsuan dokumen. Dampaknya pun bisa sangat merugikan perusahaan seperti terjadinya pembuatan rekening fiktif yang bisa digunakan untuk menyelewengkan dana.
Penerapan E-KYC Sebagai Solusi
Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, KYC dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memanfaatkan teknologi menjadi Electronic Know Your Customer (e-KYC). Berbeda dengan KYC, proses e-KYC meniadakan proses tatap muka langsung saat verifikasi calon pelanggan. Dalam e-KYC, verifikasi diselesaikan secara online dan real time dengan otorisasi langsung dari pelanggannya. Dengan pengerjaan secara real time, e-KYC dapat mengurangi waktu verifikasi dokumen dan memangkas biaya dari banyaknya penggunaan kertas untuk mencetak atau biaya pengiriman dokumen keluar kota.
Penerapan e-KYC sendiri bisa beragam. Mulai dari panggilan video, mengirimkan foto wajah, memanfaatkan data kependudukan lewat KTP Elektronik yang kini telah terintegrasi dengan data unik seperti sidik jari dan retina, hingga menggunakan tanda tangan digital.
Dalam UU RI no. 11 th. 2008, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa tanda tangan digital memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi beberapa persyaratan, termasuk di antaranya kemampuan untuk mengidentifikasi dan memverifikasi penggunanya di dunia digital. Dengan demikian, selain menyediakan teknologi tanda tangan digital yang praktis, penyedia jasa tanda tangan digital juga dapat membantu proses customer due dilligence untuk berbagai institusi finansial.

Privy Sebagai Startup yang Menerapkan e-KYC dan Tanda Tangan Digital
Kini di Indonesia telah hadir startup yang dengan sukses menerapkan e-KYC dan memiliki spesialisasi di bidang tanda tangan digital. Startup ini adalah Privy (sebelumnya PrivyID), yang telah diakui oleh Kominfo juga Bank Indonesia sebagai perusahaan yang memenuhi persyaratan teknis untuk dapat menerbitkan tanda tangan digital yang diakui secara legal di Indonesia.
Anda bisa merasakan sendiri canggihnya proses e-KYC dari Privy saat Anda mendaftar. Selain menggunakan KTP Elektronik, nomor telepon, dan email, Privy juga menggunakan teknologi pemindaian biometris saat pendaftaran untuk memverifikasi identitas pengguna. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan adanya pemalsuan identitas, sekaligus memenuhi berbagai regulasi yang ditetapkan oleh negara Indonesia.
Baca juga: Tanda Tangan Digital untuk Inklusi Keuangan
Setelah melalui proses e-KYC yang cepat dan mudah, Anda bisa langsung menciptakan dan menggunakan tanda tangan digital di Privy tanpa keraguan. Selain telah diakui Kominfo dan Bank Indonesia, Privy juga telah dipercaya berbagai instansi pemerintahan dan swasta seperti Bank Mandiri, Telkom, Awan Tunai, dan Bussan Auto Finance untuk menyediakan layanan tanda tangan digital bagi mereka.

Anda bisa segera mendapatkan aplikasi Privy dengan mengunduhnya lewat Google Play Store dan iOS App Store atau kunjungi situsnya di www.privy.id.